Jumat, 30 Maret 2012

Kuncup Bunga Peradaban, Indonesiaku

dakwatuna.com – Mari tengok sejenak keadaan bumi kita, atau tak perlu jauh-jauh, tengok saja negeri kita ini, lalu renungkan bagaimana keadaannya?? Baik kah? Atau malah bobrok?? Kerusakan telah menyebar luar oleh tangan-tangan manusia tak bertanggung jawab, sampai moral pun telah rusak.
Lalu siapa yang bertanggung jawab???
Tahukah Anda bahwa ada campur tangan orang-orang kafir dalam kerusakan negeri kita tercinta ini?? Sesungguhnya negeri kita ini sedang berperang, sebuah perang yang melemahkan iman bahkan aqidah, perang itu namanya ghazwul fikri.
Apa itu ghazwul fikri??
Ghazwul fikri berasal dari kata ghazw dan al-fikr,yang secara harfiah dapat diartikan “Perang Pemikiran”. Yang dimaksud ialah upaya-upaya gencar pihak musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala untuk meracuni pikiran umat Islam agar umat Islam jauh dari Islam, lalu akhirnya membenci Islam, dan pada tingkat akhir Islam diharapkan habis sampai ke akar-akarnya. Upaya ini telah berlangsung sejak lama dan terus berlanjut hingga kini.
Berangkat dari masalah inilah, “benteng peradaban Islam” mulai membuncah dari satu negara Islam ke Negara Islam yang lain, berharap kelak mereka akan bersatu menjadi benteng yang kokoh.
Kita simak nasyid berikut:
Tinta ulama menggoreskan peradaban…
Darah syuhada menegakkan keadilan…
Ayolah kawan jangan kau berpangku tangan…
Bangun kembali peradaban Islam…
Raih kembali kejayaan Islam…
(Asy-syuja’, Visi Peradaban)
“Peradaban ya peradaban”…
Mari kita bicara tentang peradaban Islam, seperti apakah peradaban Islam itu hingga ia menjadi tujuan yang sangat penting…
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-hadha- rah al-islamiyah. Kata Arab ini juga sering diartikan dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam. Kalau kita baca definisi kebudayaan (culture), misalnya dalam Kamus yang sama: (1). The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought…., maka kebudayaan memiliki makna yang hampir sama dengan peradaban. Keduanya adalah hasil kerja manusia pada suatu zaman. Namun, dalam pembicaraan secara umum, peradaban nuansanya lebih luas, lebih menyeluruh, lebih sophisticated, dan lebih mentereng (http://serbasejarah.wordpress.com).
…Tak ada kata terlambat untuk membangun sebuah peradaban yang kokoh, masih banyak harapan yang serta merta mengelilingi kita…
Mari kita mulai dengan para pemuda/i… .
Para pemuda yang bersarang di kampus-kampus Indonesia ini adalah penerus bangsa, yang harus di bina akhlaqnya lagi ilmunya. Mereka harus punya iman dan harus punya ilmu, serta amal yang baik. Oleh sebab itu, tempa lah mereka.
Lihatlah salah satu indikator, saat sebuah masjid kampus itu ramai dengan kekhusyu’an para mahasiswa dan para pendidiknya. Maka di sanalah ada tali harapan.
Bagaimana dengan sekolah?
Mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah tingkat pertama hingga menengah tingkat atas.
Mereka pun tunas-tunas bangsa yang harus di perhatikan karena di sana lah harapan sedang di tanam, yang kemudian hari akan di panen.
Ada kisah yang membuat harapan itu membuncah.
Di sebuah sekolah dasar di kota Jakarta.
Hari itu adalah hari senin. Para siswa berpuasa sunnah hari senin, dan nanti setelah adzan berkumandang, akan di akhiri dg ifthar jama’i dengan para gurunya. Dalam usianya yang masih se-dini itu mereka sudah belajar tentang bagaimana mengerjakan yang sunnah, sungguh guru – guru yang layak diacungi jempol.
…Pengajar yang Hebat dan anak didik yang luar biasa, salah satu Cikal Bakal terbentuknya Peradaban yang kokoh.
Telah tumbuh kuncup-kuncup bunga di ladang peradaban, yang ia akan bermekaran dengan wangi yang semerbak kelak.
Menunggu sang pendidik menyiramkan air syurga dan memupukkan benih iman pada kuncup- kuncup itu. Hingga mereka benar-benar bermekaran, menabur cinta pada bumi.
Bagaimana dengan kita??
Apakah kita termasuk salam satu dari kuncup-kuncup itu??
Atau termasuk para pendidik yang akan menyiramkan air syurga dan memupuk benih iman kepada kuncup-kuncup itu??
Terus bergerak, berpikir dan bekerja…
Kerahkan potensi kobarkan semangatmu…
Berpegang teguh pada Qur’an dan sunnah…
Jadilah khoiru Ummah…
Jadilah umat mulia…
Luruskan niat dan rapatkanlah barisan…
Maju ke depan tuntaskanlah perubahan…
Membangun bangsa yang bervisi peradaban…
Berjayalah INDONESIAKU…
Bangkitlah wahai NEGERIKU…
(Asy-syuja’, Visi Peradaban)
Sejatinya setiap ladang itu ada penjaganya.
Wallahu ‘alam…

Allah Lebih Besar

dakwatuna.com - Galau. Galau. Galau. Itulah yang saya rasakan beberapa hari ini. Bukan karena cinta pastinya. Mungkin masalah yang standar yang biasa di alami oleh beberapa orang. Saya galau akan pekerjaan. Ketika mendapat pekerjaan baru yang saya pikir lebih menantang, justru saya di hadapkan pada ketidakenakan untuk meninggalkan pekerjaan lama. Padahal pekerjaan baru ini, sudah saya inginkan sekian lama. Merasa tidak enak karena bagaimana dengan semua pekerjaan yang “mungkin” akan terbengkalai. Terlebih saya sudah lama bekerja di tempat lama dan saya yang menghandlebeberapa pekerjaan penting. Jika saya berfokus pada pekerjaan lama, saya tidak akan menemukan sesuatu yang baru yang bisa jadi ada banyak ladang pembelajaran untuk saya. Jika di pikir-pikir, keduanya ada kelebihan dan kekurangan. Tapi toh, kita harus tetap memilih. Jika saya berfikir kenyamanan, maka di tempat lama jauh lebih nyaman karena tidak perlu repot-repot beradaptasi ulang, tidak usah belajar lagi dan sebagainya.
Seperti kata teman, kalau kita terus memikirkan pekerjaan lama sedang pekerjaan baru menanti maka tidak akan ada habisnya. Maju saja. Bukan bermaksud mengabaikan, toh nanti akan ada orang-orang baru yang mampu menggantikan.
Sama seperti jika kita terpaku pada kenyamanan saat ini sedangkan di hadapan ada sesuatu yang lebih menantang lalu kita tidak mengambilnya maka tidak akan ada perubahan. Apapun nanti yang terjadi di depan semoga bisa menjadi warna dalam khazanah kehidupan saya.
Yang paling teringat pada masa galau saya kali ini adalah ketika saya merasakan kasih sayang Allah yang teramat sangat. Saat kepala saya seperti mau pecah memikirkan bagaimana pengganti saya nanti di tempat lama dan bagaimana nanti lingkungan di tempat baru apakah lebih baik atau seperti apa, Allah memberikan secercah asa kepada saya. Hari berganti, saya memasrahkan diri. Dan hari berganti, pertolongan Allah terus datang. Selalu saja ada kemudahan. Saya berfikir hingga kepala berat, padahal ada Allah yang mampu memudahkan.
Sering kali saya khilaf ketika di hadapkan pada suatu persoalan. Bukan Allah pertama yang saya sapa. Bukan juga orang tua tempat saya bercerita. Saya malah memutar persoalan sendiri di dalam pikiran yang akhirnya hanya membuat saya pusing dan bingung sendiri. Padahal ridha Allah bergantung pada ridha orangtua. Saya jadi bisa membuat kesimpulan bahwa boleh saja kita menganggap masalah kita teramat besar tapi Allah jauh lebih besar dari itu semua. Allah tidak akan melepaskan hambaNya begitu saja ketika masalah melanda.
Maka nikmat Allah manakah yang kita dustakan??
Allahua’lam.

One Day One Juz?

dakwatuna.com – Bismillah… dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanyalah milik Allah ta’ala, yang telah menurunkan Al Qur’an kepada hambaNya kitab Al-Qur’an sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah SAW, Keluarga, Sahabat, dan orang-orang yang tetap teguh dalam ajaran Islam yang senantiasa berittiba’ dan mengikuti sunnah-sunnah beliau SAW, sampai akhir zaman.
Dalam suatu halaqah ilmu yang anggotanya rata-rata ibu rumah tangga dengan segala kesibukannya, dilontarkanlah sebuah pertanyaan. “Berapa target harian tilawah (membaca) Al-Qur’an?”  Jawabannya memang beragam, ada yang sanggup sehari 3 halaman, ada yang sanggup sehari 5 halaman, ada yang satu juz(10 halaman) bahkan lebih dari itu. Namun sangat di sayangkan ternyata rata-rata belum tercapai 1 juz dalam sehari.
Mengapa harus satu juz sehari? Mungkin sebagian dari kita akan mengatakan “waduh boro-boro se-juz? Menyentuh Al-Qur’an saja belum tentu…he-he-he.” Ternyata di kalangan orang-orang yang terbiasa dengan halaqah ilmu saja masih terasa berat dengan istilah “rutin tilawah Al Quran satu hari satu juz”. Lantas bagaimana dengan mereka yang masih sangat awam dengan keislamannya?
Ketika kita masih merasa berat menyentuh dan membaca Al Quran ini dikarenakan masalah utama yang harus dicarikan solusi oleh kita semua kaum muslimin. Sebab-sebab itu di antaranya:
  1. Perasaan menganggap sepele tentang keutamaan membaca Al-Qur’an
  2. Lemah wawasan ber Al-Qur’an
  3. Tidak memiliki waktu yang wajib/target khusus untuk berinteraksi dengan Al Quran
  4. Lemahnya keinginan untuk bertilawah
  5. Terbawa lingkungan yang jauh dari Al-Qur’an
  6. Tidak tertarik dengan majelis yang menghidupkan Al Quran.
Untuk menanggulangi sederetan masalah diperlukan solusi dan kiat-kiat khusus di antaranya:
  1. Lancarkan bacaan yaitu dengan belajar secara talaqqi, dan sering tilawah, meski masih terbata-bata (muraja’ah = membaca berulang hingga benar) karena dalam hadits dikatakan “Orang yang mahir dengan Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan taat, dan orang yang terbata-bata serta merasa kesulitan, maka ia mendapatkan dua pahala (pahala membaca dan pahala semangat membaca)” (HR Muslim).
  2. Tingkatkan wawasan ber Al-Qur’an, dengan sering-sering menghadiri majelis-majelis ilmu yang menghidupkan Al-Qur’an.
  3. Jadikan waktu khusus (target harian) untuk tilawah, anggap utang jika tidak memenuhi target dan bayarlah (qodo’), pada hari berikutnya.
  4. Berdoalah pada Allah agar dimudahkan dan diringankan untuk mempunyai waktu khusus membaca, merenungi bahkan menghafal Al-Qur’an
  5. Perbanyak amal shalih karena amal shalih merupakan energy baru untuk amal shalih berikutnya.
  6. Banyak-banyak bergaul dengan orang-orang shalih yang menghidupkan dan dekat dengan Al Quran.
Kembali kepada mengapa harus satu juz dalam sehari? Secara sederhana dikatakan begini Al-Qur’an itu berapa juz? 30 juz…lantas satu bulan ada berapa hari? Kita ambil rata2nya, 30 hari. Mengapa kita harus satu bulan harus mengkhatamkan membaca Qur’an satu kali? Dalam hadits dikatakan: Dari Abdullah bin Amru bin Ash, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam beliau berkata, “Puasalah tiga hari dalam satu bulan.” Aku berkata, “Aku mampu untuk lebih banyak dari itu, wahai Rasulullah.” Namun beliau tetap melarang, hingga akhirnya beliau mengatakan, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan bacalah Al-Qur’an (khatamkanlah) dalam sebulan.” Aku berkata, “Aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau terus melarang hingga batas tiga hari. (HR. Bukhari)
Menurut hadits di atas, kita dilarang mengkhatamkan Al Quran lebih dari 30 hari. Karena bila kita membaca Al Quran kurang dari 1 juz per harinya, kita akan kehilangan ruh dan akan menjauh dari Allah. Selain itu, kita juga dilarang untuk mengkhatamkan Al Quran kurang dari 3 hari. Hal itu telah dijawab oleh hadits berikut:
Dari Abdullah bin Amru, beliau mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan dapat memahami/menghayati Al-Qur’an, orang yang membacanya kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud)
Lantas bagaimana untuk bisa mencapai satu juz dalam sehari? Seperti tips di atas yang pertama-tama dilakukan adalah dengan melancarkan bacaan sesuai ilmu tajwid yang benar. Karena apa ketika kita membaca Al-Qur’an sesuai tajwid maka akan merasa nyaman dan menikmati. Berbeda ketika kita masih kesulitan dalam membacanya, maka rasa malaslah yang menghampiri. Tajwid artinya membaguskan. Membaguskan di sini bukan berarti melagukan tapi lebih kepada mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya dengan memberi hak dan mustahaknya. Hak huruf itu sendiri adalah sifat asli yang selalu bersama dengan huruf tersebut, seperti Al Jahr, Isti’la, Istifal dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan mustahak huruf adalah sifat Nampak sewaktu-waktu, seperti tafkhim, tarqiq, ikhfa dsb.
Jadi ketika kita membaca sesuai tajwid maka terasa nyaman di dengar meskipun tanpa lagu, Insya Allah. Selanjutnya setelah lancar dan benar membacanya, hal yang harus kita lakukan membuat target harian. Satu juz sama dengan 10 lembar. Agar terasa ringan bagilah menjadi 5. Bukankah sehari kita melakukan shalat wajib 5 kali? 10:5 = 2. Jadi setelah shalat atau sambil menunggu waktu shalat usahakan membaca 2 lembar. Jika sudah lancar membaca Al-Qur’an dengan tartil kurang lebih hanya 10 menit. Tartil adalah tingkatan membaca Al-Qur’an yang tidak terlalu cepat atau terlalu lambat, bacaan tartil inilah yang disukai Allah. Firman Allah dalam QS 73:4 “Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil”.
Lantas bagaimana jika ternyata kita terlupa atau tidak sempat dalam sekali waktu shalat? Maka sebaiknya mengiqob (menghukum) diri dengan mengurangi waktu tidur kita untuk mengejar tilawah tersebut. Bisa juga ketika kita shalat malam kita pegang mushaf dan membaca Al-Qur’an untuk rangkapan dalam setiap rakaatnya.
Nah adalagi jika beralasan bukankah setiap perempuan itu punya halangan tiap bulannya? Berarti jumlah hari berhalangan tidak bisa membaca dan menyentuh mushaf dimasukkan utang, dikalikan jumlah juz kemudian ditambahkan pada hari-hari biasa ketika suci. Misal jumlah masa haid 7 hari, sisa hari suci 21. 7×10 = 70 lembar dibagi 21 hasilnya 3,33 lembar. Jadi sehari ditambah 3,3 lembar atau 13,3 lembar dibagi 5 menjadi 2,6 lembar per waktu shalat. Jika masih kesulitan rekayasa penghitungan bisa dibuat sesuai kebutuhan.
Setelah usaha di atas dicapai yang tak kalah penting adalah berdoa kepada Allah agar diberikan kekuatan dan keistiqamahan dalam tilawatil Qur an…”Ya Allah, rahmatillah kami dengan Al-Qur’an itu bagi kami sebagai pemimpin, petunjuk, dan rahmat. Ya Allah, ingatkan kami dari Al-Qur’an apa yang telah kami lupa. Ajari kami Al Quran apa yang belum kami ketahui. Berilah kami kemampuan membacanya sepanjang malam dan siang, dan jadikanlah Al-Qur’an itu penyelamat kami dan jangan Engkau jadikan boomerang bagi kami (menyeret kami ke neraka). Dengan menyebut Rahmat-Mu Ya Allah. Wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
*semoga ini bagian dalam mengamalkan QS Al ‘Ashr (1-3)
“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”
Barangsiapa yang mendapat petunjuk dari Allah maka tidak ada seorang pun yang dapat bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka tidak ada siapapun yang bisa memberinya petunjuk.
Wallahu a’lam bishawwab.

Selasa, 27 Maret 2012

Pilihan Bagi Orang-Orang Terpilih


dakwatuna.com – Tidak ada yang gratis di dunia ini. Karena selalu ada harga yang harus kita bayar manakala hendak mewujudkan setiap keinginan, sehingga sudah sepantasnya sebuah kemenangan dibayar dengan perjuangan. Sudah seharusnya keberhasilan ditebus dengan pengorbanan. Dan sudah semestinya kesuksesan ditempuh dengan keteguhan.
Betapa tidak, selalu akan ada rintangan berat manakala kita menjalaninya. Namun itu semua sebenarnya mengukur sejauh mana kesungguhan kita dalam mewujudkan keinginan tersebut. Mundur atau tetap maju adalah pilihan yang harus kita tempuh demi menuju mimpi-mimpi itu.
Begitu pula dengan dakwah ini. Allah telah memberikan pilihan kepada kita, apakah ikut menjadi pelaku sejarah kemenangan, atau duduk terdiam menanti kematian. Hingga akhirnya Allah pun memilih mereka, yang sebelumnya telah memutuskan untuk tetap menjadi orang-orang yang terpilih.
Sama halnya seperti seorang guru yang menyajikan sebuah soal di papan tulis. Lalu kepada para muridnya, ia menanyakan siapa saja di antara mereka yang dapat menjawab soal itu. Kemudian pada akhirnya, guru tersebut akan menunjuk mereka yang mengacungkan tangan, bukan mereka yang diam. Guru tersebut memilih mereka karena acungan tangan mereka adalah bukti bahwa mereka siap untuk dipilih.
Mereka terpilih bukan karena dipilih. Tetapi mereka terpilih karena mereka memilih. Memilih dirinya agar selalu terpilih. Karena dakwah adalah pilihan bagi orang-orang terpilih, sehingga hanya mereka yang teguh serta kuatlah yang dapat bertahan hingga titik akhir perjuangan. Tidak ada tempat bagi orang-orang lemah, penakut, apalagi peragu.
Bagaimanapun, Surga itu tidaklah murah. Kenikmatan besar itu baru akan kita raih setelah membayar dengan harga yang pantas. Maka bukan lagi menjadi masalah jika nantinya kita menemukan kekurangan pada organisasi dakwah, rekan yang kurang setia, atau pun hambatan eksternal lainnya. Semua menjadi kurang penting manakala kita telah yakin kepada Allah. Jika mereka memilih untuk lemah dan tersisih, maka kita tetap memilih kuat dan bertahan. Menjadi tangguh bukan hanya tentang bisa atau tidak, melainkan mau atau tidak.
Betapa indah apa yang disampaikan Muhammad Nursani pada bukunya, Berjuang di Dunia Berharap Pertemuan di Surga, “Sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang sebenarnya remeh. Penderitaan paling berbahaya adalah ketika tujuan hidup kita yang demikian agung, terbentur oleh keadaan hidup yang sesungguhnya sepele. Persoalan remeh, yang kita lihat secara keliru, kemudian mengakibatkan sempitnya dada, nafas tersengal, kesal hati, murung wajah, hati yang bergemuruh duka cita, bahkan air mata dan dendam. Hingga istirahat terganggu, pikiran tidak tentu arah.”
Sekali lagi, ini soal pilihan. Bukankah yang pilihan itu memang sedikit? Bukankah yang juara itu memang segelintir orang saja? Lantas, buat apa kita berlemah dan bersedih? Banggalah karena telah menjadi yang sedikit itu!