dakwatuna.com - Galau. Galau. Galau. Itulah yang
saya rasakan beberapa hari ini. Bukan karena cinta pastinya. Mungkin
masalah yang standar yang biasa di alami oleh beberapa orang. Saya galau
akan pekerjaan. Ketika mendapat pekerjaan baru yang saya pikir lebih
menantang, justru saya di hadapkan pada ketidakenakan untuk meninggalkan
pekerjaan lama. Padahal pekerjaan baru ini, sudah saya inginkan sekian
lama. Merasa tidak enak karena bagaimana dengan semua pekerjaan yang
“mungkin” akan terbengkalai. Terlebih saya sudah lama bekerja di tempat
lama dan saya yang menghandlebeberapa pekerjaan penting. Jika
saya berfokus pada pekerjaan lama, saya tidak akan menemukan sesuatu
yang baru yang bisa jadi ada banyak ladang pembelajaran untuk saya. Jika
di pikir-pikir, keduanya ada kelebihan dan kekurangan. Tapi toh, kita
harus tetap memilih. Jika saya berfikir kenyamanan, maka di tempat lama
jauh lebih nyaman karena tidak perlu repot-repot beradaptasi ulang,
tidak usah belajar lagi dan sebagainya.
Seperti kata teman, kalau
kita terus memikirkan pekerjaan lama sedang pekerjaan baru menanti maka
tidak akan ada habisnya. Maju saja. Bukan bermaksud mengabaikan, toh
nanti akan ada orang-orang baru yang mampu menggantikan.
Sama
seperti jika kita terpaku pada kenyamanan saat ini sedangkan di hadapan
ada sesuatu yang lebih menantang lalu kita tidak mengambilnya maka tidak
akan ada perubahan. Apapun nanti yang terjadi di depan semoga bisa
menjadi warna dalam khazanah kehidupan saya.
Yang paling teringat
pada masa galau saya kali ini adalah ketika saya merasakan kasih sayang
Allah yang teramat sangat. Saat kepala saya seperti mau pecah memikirkan
bagaimana pengganti saya nanti di tempat lama dan bagaimana nanti
lingkungan di tempat baru apakah lebih baik atau seperti apa, Allah
memberikan secercah asa kepada saya. Hari berganti, saya memasrahkan
diri. Dan hari berganti, pertolongan Allah terus datang. Selalu saja ada
kemudahan. Saya berfikir hingga kepala berat, padahal ada Allah yang
mampu memudahkan.
Sering kali saya khilaf ketika di hadapkan pada
suatu persoalan. Bukan Allah pertama yang saya sapa. Bukan juga orang
tua tempat saya bercerita. Saya malah memutar persoalan sendiri di dalam
pikiran yang akhirnya hanya membuat saya pusing dan bingung sendiri.
Padahal ridha Allah bergantung pada ridha orangtua. Saya jadi bisa
membuat kesimpulan bahwa boleh saja kita menganggap masalah kita teramat
besar tapi Allah jauh lebih besar dari itu semua. Allah tidak akan
melepaskan hambaNya begitu saja ketika masalah melanda.
Maka nikmat Allah manakah yang kita dustakan??
Allahua’lam.
Jumat, 30 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar