Kamis, 07 Juni 2012

||| Berdialog dengan Allah SWT |||


Jika kita melihat judul di atas, bisakah kita berbicara dengan Allah SWT? Sementara seperti kita ketahui, Nabipun hanya beberapa yang dapat langsung berbicara dengan Allah. Seperti Nabi Adam as atau dari... belakang tabir seperti Nabi Musa as dan Rasulullah Muhammad SAW ketika di sidhrotul muntaha.

Bisakah kita manusia biasa? Allah berfirman dalam Alquran: “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” (QS. Al Baqarah, 2 : 253)

Dalam ayat yang lain: “Dan rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An Nisa, 4 : 164)

“Tidak adalah bagi manusia, bahwa Allah bercakap-cakap dengan dia, kecuali dengan wahyu atau dari belakang tabir, atau Dia utus seorang utusan(malaikat) lalu utusan itu mewahyukan dengan izinNya apa-apa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Dia Maha tinggi lagi Maha bijaksana.” (QS. Asy Syuro, 42 : 51)

Jadi tidaklah mungkin seorang manusia dapat bercakap-cakap dengan Allah SWT. Jadi bagaimana jika kita ingin curhat kepada Allah? Seorang ulama menyebutkan “Jika kita ingin berbicara kepada Allah, berdo’alah/sholatlah. Dan jika kita ingin mendengar Allah maka bacalah Alquran.” Karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar Maha melihat, Maha mengetahui yang Nampak dan yang tersembunyi.”

“Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Al Hajj, 22 : 61)

Berkenaan dengan ini, pernah datang seorang Arab Badui kepada Nabi SAW yang bertanya: "Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat munajat atau memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyeru-Nya?"

Nabi SAW terdiam, hingga turunlah ayat ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS. Al Baqoroh, 2 : 186)

Menurut riwayat lain, ayat ini turun berkenaan dengan sabda Rasulullah SAW, "Janganlah kalian berkecil hati dalam berdoa, karena Allah SWT telah berfirman "Ud'uuni astajiibu lakum" yang artinya berdoalah kamu kepada-Ku, pasti aku akan mengijabahnya (QS. Al Mu’minun, 40 : 60). Berkatalah salah seorang di antara
mereka: "Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan mendengar doa kita atau bagaimana?" Sebagai jawabannya, turunlah ayat ini. (Diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir yang bersumber dari Ali)

Dalam Hadis Qudsi dijelaskan bagaimana kita sebenarnya “berbicara” dengan Allah ketika kita sedang sholat, atau lebih tepatnya ketika kita membaca surah Al Fatihah.

Allah Ta’ala berfirman, “Aku membagi sholat antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, dan bagi hambaKu apa – apa yang dia minta. Maka apabila ia mengucapkan (Alhamdullillahi Rabbil ‘Alamiin) – Allah Ta’ala berfirman : hamdani 'abdi HambaKu telah memujiKu.

Dan apabila ia mengucapkan (Arrahmaanirrahiim) – Alloh Ta’ala berfirman :'Atsna alayya 'abdi HambaKu telah menyanjungKu.

Dan apabila ia mengucapkan (Maaliki Yaumiddiin) – Ia berfiman : HambaKu telah memuliakanKu, dalam riwayat lain: Majjadani abdi HambaKu telah mengagungkanKu.
Maka apabila ia mengucapkan (Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nastai’en) – Ia berfirman : Hadza bayni wa bayna abdi, wa li abdi ma sa’ala Ini adalah antara Aku dan antara hambaKu, dan bagi hambaKu apa yang ia minta.

Maka apabila ia mengucapkan (Ihdinash-shiraathal Mustaqiim Shiraathalladziina An’amta ‘Alaihim Ghoiril Maghduubi ‘Alaihim Waladhdhoolliin) – Ia berfiman :Hadza li abdi,wali 'abdi ma saalaIni adalah untuk hambaKu dan bagi hambaKu apa yang ia minta” (HR. Muslim, hadist no 904)

karena itu perbanyaklah doa, karena doa itu ibadah dan Allah mendengar doa-doa kita. Dan perbanyaklah mendengar atau membaca kalam Allah yaitu Al Qur’an. Dengan demikian kita seakan-akan terus “berdialog dan berbicara” dengan Allah dalam keseharian kita. Semoga kita termasuk orang-orang yang diridhoi Allah SWT. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

>>> About Love (Again) >>


Tenang saja, kau pun akan mendapatkan sebuah cinta atau bahkan kau telah memiliki cinta. Bukan hanya sebuah retorika tentang cinta. Perlakuan manja para pecinta pada yang dicinta. Atau sebuah cibiran berbalut h...alus kata-kata yang sebenarnya menghujam si penanti cinta. Tiada yang tahu jika tidak menjadi korban.

Ya, mungkin aku, kau atau mereka kini bermain dalam sinema cinta. Entah sedang berlakon sebagai pemeran utama yang memainkan cerita cinta dengan beragam likunya. Atau berlakon sebagai penanti cinta yang sejati yang entah kapan akan lelah ditunggui. Yang aku yakin, tidak ada yang sia-sia kawan, jika kita berniat ikhlas. Mungkin, ada yang telah kecewa dan menjadikan cinta sebagai tersangka. Oh bukan, cinta tidak pernah salah dan tidak mungkin jadi tersangka. Cinta hanya sebuah objek dan subjeknya adalah pelaku (baca: manusia). Cinta selalu indah, meskipun jalan mendapatkannya memerlukan langkah tertatih, airmata yang kerap mengalir atau doa yang menjadi bertambah.

Jika cinta menjadi sebuah beban, maka lepaskanlah saja cinta itu. Karena cinta bukanlah sebuah beban. Jika cinta selalu menghadirkan perasaan was-was tiada terkira, bisa jadi itu adalah sebuah ketakutan akan sesuatu yang berlabel cinta. Jika cinta membuat lalai, mungkin itu adalah benalu di sudut qalbu. Ya, itu bukanlah sebuah cinta.

Jangan anggap bahwa kau belum mendapatkan cinta, hanya karena belum ada pasangan yang kerap kau rindui hadir menemanimu saat makan malam. Jangan anggap bahwa kau belum mendapatkan cinta, hanya karena banyak yang berkata, “Anakku ada tiga, anakmu berapa?”. Jangan pula kau anggap, cinta itu hanya sebuah penghambaan manusia kepada manusia lainnya yang diberi nama “kasih sayang”. Cinta bukan sebuah penghambaan.

Cinta selalu hadir pada hatiku, kamu dan mereka. Tidak selalu cinta kita itu nampak. Butiran emosi kadang menampik cinta sebenarnya. Tenang saja. Hati yang naik turun dan cinta yang timbul tenggelam. Itu adalah fitrah. Yang terpenting, ingatkan selalu hati akan cinta itu tidak melanglang teramat jauh. Tanpa cinta, tak akan ada memori indah, tak akan ada hikmah dan cerita.

Fitrahnya manusia ingin dicinta dan ingin mencintai. Ada segumpal rasa yang hendak dikeluarkan, untuk dilabuhkan. Karena Allah Sang Maha Kasih telah menebarkan pada hati manusia sebuah cinta. Juga Allah sisakan satu ruang dalam hati untuk melembutkan diri dan menerima curahan cinta dari manusia lainnya. Meski tidak semua -termasuk saya- menginginkan cinta itu. Karena belum baik waktunya atau akan menimbulkan efek yang tidak baik jika diterima. Cinta bisa menjadi indah, jika dihadirkan pada orang yang tepat, saat yang tepat dan tujuan yang benar. Apa yang kau rasa, tidak selalu benar tidak selalu salah. Biarlah itu menjadi rahasia hatimu dan Tuhanmu. Walau banyak yang berkata menunjuk seolah menghakimi. Hanya kau dan DIA yang tahu.

Oh cinta, dimana-mana ada cinta. Pada media manapun, jika mengangkat berita atau tulisan mengenai cinta (apalagi cinta antar manusia) bisa dipastikan akan menjadi trending topic. Tentu saja seperti itu, baru membaca judulnya saja sudah penasaran. About love. Meskipun berita yang diangkat tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainnya (bisa jadi tulisan ini seperti itu).



Segores makna dari sang pencinta.

Trauma Persepsi


Itulah tema yang disampaikan pada liqa’ gabungan malam ini di DPRa kecamatan Setia Budi.

Jika menelisik kata ini, yang muncul di pemikiran pertama adalah mengenai “Trauma” dan “Persepsi”. Menurutku dua hal ini adalah kata yang berbeda dan tentunya punya makna yang berbeda. Dalam pandanganku, Trauma adalah suatu respon psikologis dalam diri seseorang atas kejadian yang menimpa dirinya, kejadian ini biasanya membawa seseorang kepada suatu belenggu kehidupan, selalu teringat pada kejadian masa lalunya, yang berdampak pada pandangannya di masa mendatang. Sedangkan persepsi adalah cara pandang seseorang terhadap suatu obyek tertentu.

Menariknya adalah ketika kedua kata ini digabungkan. (Maaf, mungkin pembaca sekalian pernah mendengar gabungan kata ini, tapi saya baru pertama kali mendengarnya). Dan secara lugas, Trauma Persepsi (dalam pandanganku) adalah Penyakit psikologis seseorang terhadap hal tertentu yang kemudian membelenggu kehidupan mereka dan membawa mereka kepada mindset tidak bisa keluar dari belenggu tersebut sehingga ke depannya menghambat perkembangan kehidupan mereka. Simpelnya adalah Trauma Persepsi membawa seseorang mempersepsikan segala sesuatu tidak bisa diubah karena arahan dari pemikirannya yang sempit. Sedikit gambaran bahwa, secara kasar, trauma persepsi adalah satu perasaan ketika kita memiliki ‘mental block’, merasa tidak mampu sebelum melakukan sesuatu, sudah menyerah sebelum berperang.

Dalam materi yang disampaikan tadi, Trauma Persepsi (Al-’Uqdah Adzdzaniyyah) akan mendorong kepada trauma jiwa dan pemikiran. Terdapat 7 trauma persepsi yang mesti dipastikan bersih dari diri darinya:

   1. Al’-uqdah al-inhizamiyah, yaitu trauma persepsi selalu kalah kalau bertarung.
   2. Al’-uqdah al-istihdafiyah, yaitu trauma persepsi yang merasa kalau kita ini jadi objek terus.
   3. Al’-uqdah almuamaratiyah, yaitu mentalitas merasa orang-orang lain sedang bersekongkol melawan kita.
   4. Al’-uqdah arraj’iyyah, yaitu trauma kalau kita ini terbelakang.
   5. Al’-uqdah salbiyah, yaitu trauma persepsi yang berpikiran selalu negatif.
   6. Al’-uqdah alkamaliyah, yaitu trauma persepsi yang cenderung perfectionist.
   7. Al’-uqdah attaba’iyyah, yaitu trauma persepsi dari orang-orang yang tidak mau kreatif, maunya mengikuti.

Ketujuh jenis trauma persepsi di atas akan membawa dampak yang nyata yaitu “Seseorang tidak akan menyadari kekuatan besar pada dirinya sendiri yang mendorongnya kelak akan menjadi penonton dan sebagai pengikut (follower) saja”. Kesalahan dalam persepsi ini adalah selalu menganggap lawan berdigdaya dan tidak mau menyadari potensi besar yang tersembunyi dalam diri.

Ketika dijelaskan dampak nyata ini, pemateri menguraikannya dalam analogi seekor gajah. Sejak kecil dengan tubuhnya yang lemah, seekor gajah dirantai kaki dan tangannya. Sepanjang perjalanan kecilnya selama diikat, sang gajah selalu berusaha memberontak untuk bisa melepaskan diri dari belenggu rantai tersebut. Namun tetap tidak bisa. Hasil jerih payahnya nihil (Menurutku ini wajar karena tubuhnya yang masih terlalu kecil dan masih bertenaga sedikit.) Akhirnya gajah kecil ini pasrah atas nasib dirinya. Waktu terus berjalan hingga tubuhnya semakin besar. Hingga dewasa pun, ia tetap pada posisinya yang terikat dengan belenggu rantai tersebut tanpa melakukan tindakan untuk melepaskan diri kembali. Padahal, semakin besar gajah, semakin besar pula kekuatan yang ada pada dirinya, dan akan semakin mudah pula bagi dirinya untuk melepaskan diri. Namun, karena trauma masa lalu yang memenuhi segala pemikirannya, hingga potensi kekuatan yang dimiliki pun tak diketahuinya. Sang gajah hanya fokus pada dirinya yang terikat. Tidak mampu mendeteksi kekuatan besar yang bersemayam dalam tubuhnya.

Inti dari materi Liqa’ malam ini adalah sebagai seorang kader dakwah, kita harus menjauhkan diri dari paradigma-paradigma lama yang sempit yang akan berdampak pada kinerja dakwah. Paradigma yang melihat segala sesuatu itu sulit, tidak bisa diubah, sudah hukum alam, lawan yang selalu berdigdaya, diri yang masih kerdil, keberanian yang memprihatinkan, dan sejenisnya, harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan kita.

Karena pada hakikatnya Umat Muhammad adalah umat terbaik dari umat-umat sebelumnya yang tentunya memiliki potensi diri yang besar (seperti yang terukir dalam sejarah Islam sebagaimana Kaum Muslimin yang sedikit bisa mengalahkan Kaum Kafir yang begitu banyak).

Intinya adalah “BERANI“, karena kita (kader dakwah) memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang-orang kafir, seperti kekuatan Ruhiyah, kekuatan Pengetahuan, kekuatan Solidaritas Kader, dan satu kekuatan abadi yang membersamai kita, yakni kekuatan atau Kebesaran Allah SWT.

Sumber: Dakwatuna.com

Zaman Ke-emasan Kemasan

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
...
Istri saya dan Kakak perempuan saya, setali tiga uang. Cocok sekali, dalam istilah sundanya “nurup cupu”. Istri saya biasa dipanggil mommy dan kakak perempuan saya biasa dipanggil Bunda. Jika berbelanja sesuatu mereka selalu menunggu saat ada program bonus atau diskon khusus.

Maklum zaman sekarang di mana-mana program bonus dan diskon selalu ada setiap bulan, dari mulai paket bundling, buy 1 get 1, up to 70% sampai dengan bonus umrah dan lain sebagainya. Program pun tidak perlu menunggu momen-momen tertentu, seperti saat lebaran atau tahun baru, tapi ada saja program sepertinya setiap bulan adalah season sales (musim belanja).

Seluruh produk dari mulai makanan sampai alat relaksasi dikemas sedemikian rupa agar tampak elok. Awalnya sebuah produk diberi polesan agar tampak menarik, ditambahkan kosmetik agar terlihat cantik dan dibungkus agar tampak apik, namun akhirnya seperti paket 3 in 1, berhadiah langsung, undian tahunan sampai dengan paket wisata dan lain sebagainya.

Sangat sulit pada saat ini dapat menentukan atau mengetahui isi dari sekedar melihat kulitnya. Seperti pada buah-buahan saja contohnya, mungkin dulu buah-buahan tidak pernah “dipaksa” berbohong, karena kalau pada saat ini buah-buahan pun dipaksa untuk matang sebelum waktunya, dikarbit, dipeuyeum (dalam bahasa sunda), diberi formalin, ditambahkan zat kimia, tidak terlalu penting rasanya, yang penting terlihat matang, sedikit manis cukup sudah, layak jual. Instan dan menguntungkan. Masya Allah.

Kemasan ini semacam perhiasan yang membuat tutup menjadi cantik, bungkus menjadi menarik. Namun siapa yang tidak menyukai perhiasan? Dunia ini penuh dengan perhiasan dan dunia sendiri adalah perhiasan.

Begitu banyak manusia yang “mengejar dunia”. Berorientasi hanya pada dunia, seakan-akan akhirat itu tidak exist/ada. Padahal Allah telah menyatakan bahwa kehidupan akhirat itu sebenarnya jauh lebih baik. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’la, 87 : 16-17)

Dalam buku nasihat-nasihat Imam Ghazali Dunia diperumpamakan seperti nenek-nenek jelek yang menutupi wajahnya dan memakai pakaian bagus, indah dan cantik untuk menguji manusia. Jika penutup wajah dan kerudungnya dibuka dan ditarik kain yang dipakainya, maka manusia yang telah mencintainya akan menyesal ketika menyaksikan buruknya rupa dunia.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa pada Hari akhir nanti, dunia akan didatangkan dalam bentuknenek-nenek tua yang jelek, bermata biru, berwajah keriput, dan mempunyai banyak taring. Jika manusia melihatnya, mereka berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari makhluk jelek dan buruk ini.''

Kemudian dikatakan kepada mereka, “Inilah dunia yang karena gara-gara dia kalian saling membenci dan menumpahkan darah tanpa alasan yang benar. Gara-gara dia kalian putuskan tali silaturahim (tali kekeluargaan), dan kalian tertipu oleh perhiasannya.”

Kemudian, nenek-nenek jelek (jelmaan dunia) itu dimasukkan ke neraka. Nenek-nenek jelek itu berkata, “Tuhanku, dimanakah orang-orang yang mencintaiku?”. Maka merekapun (orang-orang yang mencintai dunia) dipanggil dan dimasukkan ke dalam neraka jahanam.

Dan banyak lagi ayat yang menjelaskan betapa besarnya kecintaan manusia terhadap dunia. Sebagaimana ayat: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga).”(QS. Ali Imran, 3 : 14)

"Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaikp erbuatanya."(QS. Al Kahfi, 18 : 7)

Inilah zaman ke-emasan kemasan. Zaman praktis, zaman all in one, zaman instan, zaman banyak orang tertipu, menipu dan ditipu oleh kemasan. Isi, substansi, kedalaman, proses kematangan perlu diagendakan ulang. Dan kita mestilah berhati-hati.

Karena kita, manusia memang cenderung menyenangi kemasan, perhiasan. Kita pun ingin selalu tampil baik dengan kemasan tentunya, dengan perhiasan, seperti baju dan lainnya. Karena itu sering kali kita diingatkan bahwa sebaik-baiknya pakaian adalah taqwa. (QS. Al A’raaf, 7 : 26).

Dan ketika kita mengemas diri dalam bersolek maupun berdandan. Bacalah do’a “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperindah kejadianku, maka perindah pula akhlak (budi pekerti)-ku. Aamiin Ya Rabbal ‘alamiin.

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.