Penulis: Fandrik Ahmad
Langit
pagi mendung. Pekat bergelayut. Pukul enam lewat lima menit waktu di
pergelangan tangan. Saya memantapkan diri mengajar, tetapi dilarang
istri. Tak akan ada orangtua yang mengizinkan anaknya bersekolah,
katanya. Saya pandangi langit, menerjemahkan larangan istri saya. Saya
mendekat ke gorden jendela. Saya buka. Angin meruak tajam.
Teh
panas yang ia seduhkan utuh di atas meja. Udara yang lembab membuat uap
meliuk dengan jelas. Merambat seperti binatang melata. Bintik-bintiknya
menghablur sebelum raib menjadi lembab. Terlalu panas teh itu untuk
dinikmati.
Angin
menggarang, memberi kabar kalau hujan akan segera turun. Lebat. Untung,
tak ada suara petir atau geledek sehingga cuaca tak terlalu
menyeramkan. Mungkinkah saya bisa pergi mengajar tanpa berbasahan karena
hujan? Itu yang saya pikirkan. Ada benarnya istri saya, mana mungkin
ada orangtua mengizinkan anaknya bersekolah. Saya saja ragu bisa
menembus dengan memakai mantel atau jas hujan bila hujan jadi
menyambangi. Terlalu deras, begitulah mungkin.
Istri
saya sibuk dengan aktifitas alat-alat masak kotor. Anak saya, sudah
dilarangnya bersekolah. Ia duduk manis di layar televisi menyaksikan
film kartun.
Saya
pandangi langit dari kisi-kisi jendela. Saya mengkalkulasi waktu. Jam
enam lewat tujuh menit, berjalan kaki ke sekolah membutuhkan waktu
normal sekitar dua puluh menit. Apa mungkin waktu, anggaplah setengah
jam dari sekarang, mendung tak akan cair? Ah, saya tidak bisa
berspekulasi.
maaf, mngkn hr ni sy tdk msuk lg. Keshatn sy sdkt trg3
send to: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 06.24.32
Saya
menghela nafas berat. Sadar atas ketidaksadaran. Semoga saya tidak
menerima hukuman untuk sebuah kesalahan ini. Saya tatap geram layar
ponsel. Seminggu lalu, saya sudah absen mengajar. Saya mohon pamit
kepada kepala sekolah karena ada urusan Walimatul Ursy adik
perempuan saya. Seandainya minggu lalu saya mengajar, mungkin hari ini
saya tidak terlalu kepikiran untuk tidak mengajar.
Saya
memegang mata pelajaran Alquran Hadits di lembaga pendidikan Madrasah
Ibtidaiyah Nurul Huda. Tujuh belas tahun berjalan saya mengajar di sana.
Saya diamanahi menjadi wali murid kelas enam karena ketuaan saya
mengajar. Tentu, sebagai palang pintu terakhir, tugas sebagai wali kelas
enam lebih berat.
Selain
saya, ada tujuh guru lagi. Dan, hanya saya dan kepala sekolah yang
berstatus guru PNS. Tentu, bujet yang saya terima lebih dari cukup
sekedar menafkahi anak dan istri. Empat tahun lalu saya diangkat jadi
PNS setelah melewati masa menyakitkan selama tiga belas tahun: gaji yang
hanya bertaraf jam. Hem, kesan yang datang terlambat.
Kegelisahan
meraung. Kegalauan berontak. Ada sesuatu yang selalu menuntut saya.
Serupa sebuah kutukan. Bagaimana nanti jika ada anak didik saya sudah
susah datang jauh-jauh kemudian saya absen?
baik, pk. akn sy smpaikn kpd kpla skolh
sender: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 06.27.32
Garis-garis
hujan kelihatan, datang terlalu riang. Kemerisik angin merisaukan
daun-daun, mengayunkan bulir air ke kanan dan ke kiri. Meliuk jatuhnya.
Sesal
meruak saat membaca sms Pak Burhan, Tata Usaha di tempat di mana saya
mengajar. Bukan jawaban itu yang saya sesalkan. Waktu. Ya, waktu yang
tertera di bawah jawaban itu. Pukul enam lewat dua puluh tujuh menit
tiga puluh dua detik! Sudah dua puluh menit berjalan. Seharusnya jika
saya memanfaatkan waktu sebaik mungkin, niscaya saya sudah sampai di
madrasah dan bisa mengajar. Saya beringsut mencari celah untuk
menghilangkan hantu di otak saya; pada murid saya, pada Pak Burhan, dan
pada guru lain yang akan terkena imbas kebohongan saya.
Saya
menjauh dari anak-istri saya. Barangkali akan lebih bermanfaat bila
mengurung diri di kamar, duduk di depan meja kerja dan menyalakan
komputer. Begitu masuk kamar, saya langsung menyorongkan wajah pada
kursi di mana saya biasa melakukan aktifitas. Beberapa buku, bundel
catatan, dan berkas-berkas bersarakan di bawah lampu duduk. Di atas CPU
butut berpentium tiga, ada segelas kopi yang ampasnya sudah mengarat.
Sedangkan bantal dan seprei sudah tertata dengan baik. Istri saya
barangkali lupa untuk merapikan tempat kerja saya.
Meja
kerja saya diapit dua poster cukup besar. Yang satu mengenakan jas,
kopyah nasional, kacamata hitam, serta telunjuk yang sedikit
dicondongkan ke atas. Ia begitu wibawa di depan bacground
burung rajawali. Sebenarnya saya tidak suka gayanya. Dulu, saya tergugah
membeli poster itu hanya sebuah kalimat di bawahnya selalu memotivasi
saya. Bunyi kalimat itu, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya aku akan ubah dunia”.
Poster
yang satunya benar-benar idola saya. Surban dan gitar merupakan
kesatuan jiwanya. Selalu ada titik pencerahan ketika saya mendengar dan
ikut mendendangkan syair lagunya. Figur yang selalu menginspirasi jalan
hidup saya; sang Raja Dangdut Rhoma Irama!
Karena
hujan, kamar kurang pencahayaan. Saya tidak tahu apa yang akan saya
lakukan ketika duduk di depan meja kerja. Saya tekan power CPU. Sambil
menunggu loading, saya rapikan tempat itu. Pada rak buku paling
atas, sebingkai foto meruapkan rindu saya. Kenangan menepi. Bongkahan
masa lalu terpatri. Doa-doa melesat tanpa saya sadari; berdoa agar
mereka menjadi orang yang berguna. Berguna pada bangsa dan negara? Itu
terlalu muluk. Berguna pada diri sendiri, sudah cukup.
Dulu,
saya seorang mahasiswa yang sering menyendiri. Mengurung diri dari
keramaian. Karena itulah saya dijuluki Si Harry Potter. Namun Harry
Potter yang dimaksud adalah si culun yang sering bersemedi memperdalam
ilmu spiritual. Atau bila tidak demikian, mereka menjuluki saya dengan
si kacamata tebal. Teman saya ketika itu acapkali mengatakan ingin
berguna pada bangsa dan negara. Mereka seakan ingin menggegerkan kelas
dengan semangat apinya. Padahal di luar itu, kerjanya hanya keluyuran:
begadang, menghabiskan waktu di klab, atau bersama doi semalaman.
Melihat hal itu, terkadang pertanyaan iseng datang tanpa saya sadari:
apakah bisa? Ah, jadi ngelantur ke masa lalu.
Saya
mendekat. Memandang lekat wajah-wajah ceria dalam pigura itu. Ayu,
gadis yang tingginya kira-kira hanya semeter, terkerdil kedua setelah
Mia, katanya ingin menjadi model. Ketika ditanya hobinya, ia mengaku
suka jalan-jalan. Sulaiman, bocah dekil berkulit hitam yang ingin jadi
pilot. Hobinya makan tempe. Ah, cita-cita dan hobi yang tak nyambung sama sekali! Hem,
Andi, bocah tertinggi di antara teman sekelasnya. Ketika saya tanya,
katanya ingin menjadi polisi karena hobi menembak. Saya tersenyum atas
pernyataannya. Polisi-tembak-menembak. Benarkah Polisi tukang tembak?
Ah, tak perlulah terlalu mempermasalahkan yang itu. Saya yakin suatu
saat mereka akan bisa memaknai jalan hidup sendiri.
Kemerisik
angin menampar-nampar jendela. Percikan hujan saling dorong memaksa
masuk. Sesal coba saya sembunyikan pada percikan itu, menutup kebohongan
yang baru saja saya lakukan.
Komputer telah menyala. Saya klik explorer,
buka-buka folder, tak tentu apa yang saya cari. Pikiran saya kalut.
Dalam telinga, kemerisik terdengar lebih keras membacok-bacok kepala.
Pada akhirnya, kursor saya arahkan pada Winamp dan setelah itu tanpa sadar saya membuka microsoft word.
Kertas
putih terhampar di depan mata. Mau diapakan, saya juga tidak tahu. Saya
coba ketik sembarang kata. Sampai dua kalimat, saya tekan control A dan tulisan itu seketika hilang bersamaan dengan telunjuk saya menekan tombol delete. Saya berpikir untuk menulis. Tapi saya tidak tahu harus menulis apa.
Aha, saya akan menulis sebuah catatan kecil saja. Catatan kecil tentang sebuah hujan.
Duduk saya tegakkan memikirkan kalimat perdana. Saya akan memulai ketika bangun tidur. Ah,
rasanya akan terlalu bertele-tele. Tidak ada kesan yang berarti.
Bagaimana kalau dimulai dengan perkiraan saya kalau pagi ini akan ada
hujan lebat. Hem, sepertinya kurang selaras dengan apa yang ingin saya tuangkan.
Aha, saya telah menemukannya! Menemukan sesuatu yang patut saya tulis. Bahwa saya telah melakukan kebohongan! Ya, kebohongan! Kebohongan! Mengapa saya berbohong? Mengapa saya tidak jujur? Mengapa saya harus melakukannya? Sip, mungkin dengan ini bisa menebus dosa sekaligus menghilangkan beban psikis saya.
Hujan
berikut angin menerjang jendela. Daun-daun mengerang kesakitan tidak
kuat bergelantungan. Gugur di luar rencana. Bulir hujan kecil melesat
bak anak panah. Untung! Untung tak ada petir atau geledek . Pikiran saya
tumpahkan pada selembar kertas putih di layar monitor. Segala yang saya
rasakan akan saya tulis! Nampaklah kata-kata membludak. Bergerak cepat
ditekan emosi. Dalam sekejap saya telah menyelesaikan satu paragraf yang
terdiri dari sebelas baris.
Tiba-tiba
listrik padam ketika mulai melanjutkan pengaduan kesalahan pada
paragraf selanjutnya. Saya marah. Saya kecewa. Lunglai. Sial! Rasanya,
saya ingin tiduran saja. Saya rebahkan tubuh di atas kasur. Di sana, di
atas langit-langit saya pandang; sesal, kecewa, dan frustasi. Saya tidak
tahu di mana akal sehat saya waktu itu.
Dari ponsel, terdengar isyarat pesan masuk.
pk skrng sy brsma susi dlm kls.
ia nangis sndrian. bjux bsh berlmur lmpur.
lututx luka,ktx ia trjtuh. disni tk ad org
sender: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 07.12.20
Nyaris
saya tak percaya. Bukan pada informasinya, juga bukan tak percaya kalau
Susi kecelakaan. Saya tak menyangka ada murid saya yang masuk hari itu.
Hujan
lebat yang ditengarai angin hebat saya tembus. Anak dan istri saya
berteriak. Entah, apakah sedang mengomeli saya atau ingin membekali
sebuah payung.
***